PETABALI, MEDAN — Keadilan seolah menjadi barang langka ketika kepentingan kekuasaan beririsan dengan hukum. Legiman Pranata, warga Medan yang tengah memperjuangkan hak atas tanahnya, kembali bersuara lantang. Ia mempertanyakan masih berlaku atau tidaknya Pasal 27 Ayat 1 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Pertanyaan ini muncul setelah penyidik dari Direktorat Kriminal Khusus (Krimsus) Polda Sumatera Utara tidak kunjung dapat memeriksa seorang anggota DPR-RI terkait dugaan penggunaan KTP dan NIK ganda, yang menjadi kunci dalam kasus pertanahan yang telah bergulir sejak 2012.
“Kalau hukum bisa dibeli, lalu di mana tempat rakyat kecil mencari keadilan?” ujar Legiman dengan nada getir, saat diwawancarai di Medan pada Senin (23/6/2025).
Legiman mengungkap bahwa Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 477 atas nama Bintang Sitorus diterbitkan untuk lahan di Desa Sei Semayang, Deli Serdang, dengan luas 11.888 m². Padahal, berdasarkan SK Bupati Deli Serdang tahun 1973, luas lahan tersebut semestinya hanya 10.660 m² atas nama alm. Boas Sitorus.
Dalam tempo hanya 18 hari, terbit surat keterangan ahli waris dan langsung disusul SHM super cepat tanpa NOP, tanpa PBB, tanpa BPHTB—dan bahkan dengan alamat palsu, seperti disebut dalam surat Kepala Lingkungan III Babura, Medan Sunggal.
Lebih janggal lagi, SHM itu kemudian dialihkan kepada seseorang bernama Sihar Sitorus melalui Akta Jual Beli No. 54 tanggal 31 Desember 2008. Nama inilah yang kemudian mencuat dalam laporan Legiman kepada Polda Sumut.
Menurutnya, sosok Sihar Sitorus yang tertulis dalam dokumen kelahiran 12 Juli 1966 itu memiliki data kependudukan ganda. Hal ini tengah diselidiki oleh tim dari Krimsus Poldasu. Namun, proses berjalan lambat karena pihak terlapor disebut-sebut merupakan anggota DPR-RI aktif.
Legiman: “Ini Bukan Lagi Soal Tanah, Ini Ujian Konstitusi!”
Bagi Legiman, perkara ini sudah melampaui urusan pertanahan. Ini adalah persoalan tentang integritas hukum dan keberanian institusi negara dalam menegakkan keadilan tanpa pandang bulu.
“Saya hanya rakyat biasa. Tapi saya punya hak untuk bertanya: apakah konstitusi kita masih berlaku? Atau sudah diam-diam dicabut ketika menyentuh kekuasaan?” ujar Legiman.
Ia menyesalkan bahwa hingga kini belum ada pemanggilan resmi terhadap pihak-pihak yang disebut dalam laporan penyelidikan, padahal indikasi kuat pemalsuan identitas dan transaksi bodong sudah terang benderang.
“Ujian Serius bagi Kepolisian dan Penegak Hukum”
Praktisi hukum yang mendampingi Legiman menilai bahwa Polda Sumut berada dalam ujian serius integritas dan profesionalisme. Bila laporan Legiman mandek karena status terlapor sebagai anggota legislatif, maka secara tidak langsung publik akan membaca bahwa hukum memang hanya tajam ke bawah.
“Imunitas anggota DPR bukan impunitas. Jika ada dugaan pidana umum, ia wajib tunduk pada hukum seperti warga negara lainnya. Kalau ini diabaikan, maka tidak hanya Legiman yang dikorbankan, tapi juga wibawa institusi hukum kita,” ujar sumber hukum tersebut.
Legiman tak akan berhenti. Ia telah mengadu ke Presiden, Wakil Presiden, DPR RI, Ombudsman, hingga Komnas HAM. Kini, ia memilih bersuara terbuka ke publik.
“Negara boleh diam, tapi rakyat akan bicara. Saya tidak sedang melawan kekuasaan, saya hanya memperjuangkan hak saya yang dirampas oleh sistem yang membiarkan hukum dipermainkan,” tutup Legiman. (TIM/Red)
Catatan Redaksi:
Kami mengajak seluruh pembaca untuk turut mengawasi kasus ini. Jika benar hukum berlaku bagi semua warga tanpa kecuali, maka suara Legiman tak boleh diabaikan.