PETABALI, Sorong Selatan – Situasi memanas kembali dalam konflik berkepanjangan antara masyarakat adat Kaiso dan PT. Mitra Pembangunan Global. Kali ini bukan hanya persoalan hak ulayat dan mediasi yang gagal, tetapi dugaan penculikan dan intimidasi terhadap pemilik hak ulayat, Yesaya Saimar, dan istrinya, yang diduga dilakukan oleh penyidik Polres Sorong Selatan pada Jumat (2/5/2025).
Dengan suara lirih dan raut wajah sedih, Yesaya Saimar menceritakan langsung kejadian memilukan itu kepada awak media pada Jumat (9/5/2025). Ia mengaku didekati oleh beberapa anggota polisi berpakaian preman yang merayunya untuk membeli obat, mengingat kondisinya sedang sakit.
“Mereka bilang mau antar beli obat. Tapi kami malah dibawa keliling, lalu diminta tanda tangan surat pencabutan kuasa terhadap Pak Simon. Setelah itu kami dibawa ke Polres, dipaksa tanda tangan surat perdamaian dan disodori uang Rp195 juta. Malamnya, keluarga saya tidak boleh jenguk, gerbang Polres ditutup,” ungkap Yesaya.
Simon Maurits Soren, S.H., M.H., kuasa hukum Yesaya, menyayangkan keras tindakan yang ia nilai sebagai intimidasi dan pelecehan terhadap prinsip hukum. Simon menilai kliennya telah dipaksa dalam kondisi tidak sehat untuk mencabut kuasa hukum dan menerima penyelesaian sepihak yang tidak adil.
“Kami bahkan sempat dihalangi untuk bertemu klien kami. Ini bukan hanya pelanggaran prosedur, tapi juga menciderai keadilan,” tegas Simon. Ia pun segera membuat surat kuasa baru dan melaporkan kejadian ini langsung ke Kapolda Papua Barat Daya.
Surat pengaduan resmi atas nama Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Simon Maurits Soren, S.H., M.H. & Partners telah dikirim ke Kapolda Papua Barat Daya, dan ditembuskan ke berbagai lembaga penting, seperti Komnas HAM Papua, Majelis Rakyat Papua, hingga Menteri Hukum dan HAM.
Frans Baho, pengamat kebijakan pemerintah, mengecam keras dugaan tindakan intimidasi tersebut. Menurutnya, jika benar, maka hal ini sangat memalukan dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.
“Kapolda harus bertindak tegas. Kalau tidak, kepercayaan publik terhadap institusi Polri akan runtuh. Tidak boleh rakyat dilecehkan dan dipaksa seperti itu,” ucapnya.
Frans juga mendorong adanya pemeriksaan internal terhadap anggota Polres Sorong Selatan, serta membuka jalur mediasi yang benar-benar adil tanpa tekanan atau intimidasi terhadap masyarakat adat.
Para pakar sosial hukum juga mengungkapkan beberapa aturan Undang-Undang dan Peraturan Kapolri (Perkap) yang relevan dalam menanggapi dugaan intimidasi dan pemaksaan oleh oknum anggota kepolisian terhadap masyarakat adat, seperti yang dialami Yesaya Saimar:
1. UUD 1945 Pasal 28G ayat (1)
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 33 ayat (1):
“Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.”
Pasal 34:
“Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, diasingkan, dibuang, atau diperbudak secara sewenang-wenang.”
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pasal 13:
Menyatakan bahwa tugas pokok Polri adalah:
– Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
– Menegakkan hukum,
– Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 14 ayat (1) huruf g:
Polri berkewajiban menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam melaksanakan tugasnya.
4. Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian
Pasal 5 ayat (1):
“Setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas wajib menghormati, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia.”
Pasal 10 ayat (1):
Anggota Polri dilarang melakukan penyiksaan, perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
5. Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri
Pasal 10 huruf a dan b:
Menyebutkan bahwa setiap anggota Polri harus menjunjung tinggi kehormatan, kejujuran, dan tidak menyalahgunakan wewenang.
6. KUHP Pasal 333 (Penculikan atau Perampasan Kemerdekaan)
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.”
Jika yang terjadi pada Yesaya Saimar sesuai dengan keterangan kejadian di atas, maka tindakan oknum penyidik bisa terindikasi pelanggaran etik, pidana, dan HAM, serta penyalahgunaan wewenang menurut aturan-aturan di atas. (Wandy/TIM/Red)
Catatan: Artikel ini terus dikembangkan untuk menggambarkan dinamika konflik dan ketegangan antara masyarakat adat dan perusahaan, serta peran aparat dalam menjaga netralitas hukum di Papua Barat Daya.