PETABALI, Sorong – Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Adat pada Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Barat Daya, YM. Mesak Mambraku, melontarkan peringatan keras atas kondisi genting yang tengah dihadapi Kabupaten Raja Ampat. Dalam wawancara eksklusif di Kota Sorong, Sabtu (7/6/2025), Mesak menyebut bahwa aktivitas pertambangan nikel telah menjadi ancaman serius terhadap keberlanjutan lingkungan, sosial, dan budaya di kawasan yang selama ini dikenal dunia sebagai ikon wisata bahari Indonesia.
“Raja Ampat hari ini sedang berdiri di tepi jurang kehancuran,” kata Mesak dengan suara berat. “Wilayah yang menjadi paru-paru laut dunia justru dibuka untuk tambang yang tidak memberikan ruang aman bagi hak hidup masyarakat adat dan ekosistemnya.”
Mesak menyoroti bahwa proyek pertambangan nikel yang mulai menjamur di kawasan strategis Raja Ampat dilakukan tanpa pelibatan efektif lembaga representatif orang asli Papua seperti MRP. Ia mengaku geram karena Pemerintah Provinsi dan Kabupaten kerap mengambil keputusan secara top-down, mengabaikan prinsip-prinsip Otonomi Khusus (Otsus) dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua yang menegaskan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat.
“MRP itu bukan sekadar pelengkap struktural. Kami penjaga nilai-nilai asli Papua. Tapi dalam banyak keputusan, kami bahkan tidak dilibatkan atau diberi akses dokumen,” tegasnya.
Dalam wawancara yang terekam dalam kanal YouTube publik (link: https://youtu.be/9768Exf_Ilk?si=ZU-kimiq60JIAZVo), Mesak menyebutkan bahwa masuknya perusahaan tambang ke wilayah Raja Ampat telah menimbulkan friksi di tengah masyarakat, terutama menyangkut pelepasan hak ulayat dan dampak ekologis seperti kerusakan hutan mangrove dan pencemaran laut.
Lebih lanjut, Mesak Mambraku mendesak Presiden RI dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera melakukan audit menyeluruh atas izin-izin tambang di Raja Ampat. Ia juga meminta adanya moratorium total terhadap seluruh aktivitas eksplorasi dan eksploitasi tambang di kawasan konservasi dan wilayah adat, sebelum kehancuran benar-benar tak bisa dibalikkan.
“Kami mendesak negara untuk hadir. Jangan tunggu sampai bentrok antarwarga meledak karena dipicu ketidakadilan akses dan perampasan ruang hidup,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa investasi yang tidak ramah terhadap ekosistem Raja Ampat sama saja dengan menggali kuburan jangka panjang bagi sektor pariwisata yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat lokal.
Raja Ampat yang dikenal dengan lebih dari 1.500 pulau karst, terumbu karang terkaya di dunia, dan keanekaragaman hayati lautnya, kini terancam menjadi korban baru dari kerakusan tambang. Masyarakat adat yang hidup harmonis dengan alam selama ratusan tahun mulai kehilangan ruang dan harapan.
Majelis Rakyat Papua sebagai lembaga kultural yang lahir dari amanah Otsus, kini mengangkat suara lantang agar Raja Ampat tidak dikorbankan atas nama investasi jangka pendek. Sorotan Mesak Mambraku menjadi sinyal penting bahwa krisis lingkungan di Papua Barat Daya bukan sekadar soal izin, tetapi soal eksistensi manusia dan masa depan warisan bumi.
Dalam konteks konstitusional dan hak asasi manusia, negara memiliki kewajiban hukum untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan menjaga kelestarian lingkungan. Hal ini ditegaskan dalam beberapa instrumen hukum berikut:
1. UUD 1945 Pasal 18B Ayat (2):
– Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
2. Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945:
– Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
3. UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (dan perubahannya UU No. 2 Tahun 2021):
– Menyatakan bahwa pembangunan di tanah Papua harus berbasis penghormatan terhadap hak-hak dasar Orang Asli Papua, termasuk hak atas tanah, sumber daya alam, dan lingkungan hidup.
4. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:
– Negara wajib mencegah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan melalui kebijakan yang berkelanjutan dan berbasis keadilan ekologi.
“Ketika negara gagal mengontrol masuknya tambang, gagal melibatkan masyarakat adat, dan gagal menjaga warisan ekologis, maka itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi dan rakyatnya sendiri,” ujar seorang pakar hukum lingkungan dari Universitas Cenderawasih, yang tidak ingin disebutkan namanya.
MRP mendesak agar seluruh izin tambang di wilayah Raja Ampat ditinjau ulang, dan jika perlu dicabut. Pemerintah pusat juga diminta transparan terhadap dokumen perizinan dan melibatkan MRP serta masyarakat adat secara aktif. (TIM/Red)